Pisah Ranjang Tak Menghapus Status Perkawinan, Tapi Pemisahan Harta Tetap Bisa Dilakukan Lewat Perjanjian
📌 Pokok Berita:
- UU Perkawinan tidak mengenal istilah pisah ranjang, berbeda dengan KUH Perdata yang masih memuat ketentuan soal itu.
- Meskipun pasangan dalam kondisi pisah ranjang, pemisahan harta tetap dimungkinkan melalui perjanjian perkawinan (post-nuptial agreement).
- Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 memperluas ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan sehingga perjanjian pemisahan harta bisa dibuat kapan pun—sebelum, saat, atau selama perkawinan berlangsung.
Banyak pasangan suami-istri yang mempertanyakan apakah mereka dapat membuat perjanjian pemisahan harta ketika hubungan rumah tangga sudah tidak harmonis, bahkan berada dalam kondisi pisah ranjang.
Dalam konteks hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang tidak mengenal istilah “pisah ranjang”. Istilah ini berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tepatnya Pasal 233–249, yang mengatur mengenai pisah meja dan ranjang sebagai bentuk perpisahan tanpa mengakhiri ikatan perkawinan.
Pasal 233 KUH Perdata menyebut, jika terdapat alasan yang dapat menjadi dasar perceraian—seperti kekerasan, penghinaan kasar, atau perbuatan di luar batas kewajaran—suami atau istri dapat menuntut pisah meja dan ranjang melalui pengadilan.
Pisah Ranjang dalam Perspektif Hukum
Secara prinsip, pisah ranjang bukan perceraian. Artinya, ikatan perkawinan tetap sah, meskipun pasangan tidak lagi tinggal bersama. Namun, status hukum mengenai pisah ranjang ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum.
Beberapa pandangan ahli hukum terkait:
- Thorkis
Pane (Advokat & Dosen FHUI)
Menilai bahwa sejak diberlakukannya UU Perkawinan 1974, lembaga pisah meja dan ranjang dalam KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi.
Menurutnya, Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan bahwa segala ketentuan dalam KUH Perdata yang telah diatur ulang dalam UU Perkawinan dianggap tidak berlaku.
Karena itu, konsep pisah ranjang dianggap tidak relevan dalam sistem hukum perkawinan nasional saat ini. - Erna
Soswan Sjukrie (Mantan Hakim)
Berpendapat bahwa aturan pisah ranjang masih dapat diterapkan, tetapi hanya untuk warga keturunan Tionghoa yang sebelumnya tunduk pada KUH Perdata.
Bagi warga Indonesia pada umumnya, tetap mengacu pada UU Perkawinan yang tidak mengenal pisah ranjang. - Rosa
Agustina Pangaribuan (Pakar Hukum Perdata UI & Atmajaya)
Menegaskan bahwa pembagian hukum berdasarkan golongan (pribumi, Timur Asing, Tionghoa) sudah tidak berlaku lagi.
Karena itu, seluruh warga negara Indonesia tunduk pada UU Perkawinan, dan institusi pisah ranjang tidak lagi dikenal dalam sistem hukum modern Indonesia.
Perjanjian Pemisahan Harta Masih Bisa Dibuat
Meski UU Perkawinan tidak mengatur pisah ranjang, pasangan yang sudah tidak hidup bersama tetap dapat membuat perjanjian pemisahan harta.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan, yang kemudian diperluas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Putusan tersebut memperbolehkan perjanjian perkawinan (perjanjian pemisahan harta) dibuat tidak hanya sebelum atau saat menikah, tetapi juga selama ikatan perkawinan masih berlangsung.
Isi Pasal 29 ayat (1) hasil putusan MK menyatakan:
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Artinya, meskipun pasangan sedang pisah ranjang, selama status perkawinan belum berakhir secara hukum, keduanya masih bisa membuat perjanjian pemisahan harta—baik untuk mengatur aset bersama maupun menghindari konflik di kemudian hari.
Bentuk dan Prosedur Perjanjian
Perjanjian pemisahan harta harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh notaris atau pegawai pencatat perkawinan.
Isi perjanjian biasanya mengatur:
- Pemisahan harta yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan,
- Pengaturan kepemilikan aset pribadi,
- Tanggung jawab atas utang masing-masing pihak,
- Dan ketentuan bila terjadi perceraian atau kematian salah satu pasangan.
Namun, isi perjanjian tidak boleh melanggar hukum, norma agama, atau kesusilaan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan.
Meskipun lembaga pisah ranjang secara formal tidak
lagi berlaku di bawah UU Perkawinan, pemisahan harta tetap dapat
dilakukan selama perkawinan masih sah.
Caranya adalah melalui perjanjian perkawinan (post-nuptial agreement)
yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan disahkan oleh pejabat
berwenang.
Dengan demikian, pasangan yang sedang pisah ranjang tetap bisa mengatur pemisahan harta secara hukum, tanpa harus menunggu perceraian.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 233–249
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015