Perlukah Izin Suami untuk Menjual Rumah yang Diperoleh Sebelum Menikah? Ini Penjelasan Hukumnya
Pertanyaan seperti ini sering diajukan, terutama oleh perempuan Indonesia yang menikah dengan warga negara asing (WNA).
Kasusnya biasanya begini:
“Saya punya rumah atas nama pribadi yang saya beli jauh sebelum menikah. Setelah menikah dengan WNA tanpa perjanjian pisah harta, apakah saya masih boleh menjual rumah itu tanpa izin suami?”
Isu ini menarik, karena menyentuh tiga lapis hukum
sekaligus: hukum perdata, hukum perkawinan, dan hukum agraria.
Mari kita bahas satu per satu agar jelas posisi hukumnya.
1. Dasar Hukum yang Mengatur
Ada tiga undang-undang yang relevan dalam kasus ini:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) — untuk perkawinan sebelum 1974,
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) — untuk perkawinan setelah 2 Januari 1974,
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) — untuk penguasaan hak atas tanah.
Kapan Anda menikah menentukan hukum mana yang berlaku.
2. Jika Menikah Sebelum Tahun 1974 (Mengacu pada KUHPerdata)
Bagi pasangan yang menikah sebelum 2 Januari 1974, hukum yang berlaku adalah KUH Perdata.
Menurut Pasal 119 KUHPerdata:
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tidak diadakan perjanjian kawin.”
Artinya, semua harta — termasuk yang diperoleh sebelum menikah — otomatis menjadi harta bersama, kecuali dibuat perjanjian pisah harta (perjanjian kawin) sebelumnya.
Dengan demikian:
- Rumah yang dibeli sebelum menikah dianggap bagian dari harta bersama,
- Maka, berdasarkan Pasal 108 KUHPerdata, istri tidak dapat menjual atau memindahtangankan harta tanpa izin tertulis suami.
Pasal 108 KUHPerdata menegaskan:
“Seorang isteri, sekalipun kawin di luar harta bersama, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, atau memperoleh sesuatu tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis.”
Jadi, jika perkawinan Anda dilakukan sebelum 1974, izin suami tetap diperlukan untuk menjual rumah tersebut.
3. Jika Menikah Setelah Tahun 1974 (Mengacu pada UU Perkawinan)
Perkawinan setelah 2 Januari 1974 tunduk pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hukum ini mengubah total konsep harta dalam perkawinan.
Menurut Pasal 35 UU Perkawinan:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri, dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, tetap menjadi milik
pribadi masing-masing.
Kuncinya ada pada waktu perolehan harta.
Jika rumah dibeli sebelum menikah, maka:
- Rumah tersebut termasuk harta bawaan,
- Dan menurut Pasal 36 ayat (2), Anda bebas melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi, termasuk menjualnya.
Dengan kata lain:
✅
Anda tidak perlu izin suami untuk menjual rumah tersebut,
karena rumah itu tidak termasuk harta bersama.
4. Lalu Bagaimana dengan Suami yang WNA? Apakah Ada Dampak dari UUPA?
Inilah bagian yang sering membingungkan — antara UU Perkawinan dan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).
Menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA:
“Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.”
Jika seorang WNI menikah dengan WNA tanpa perjanjian pisah harta, maka menurut hukum perkawinan:
- Terjadi percampuran harta bersama,
- Artinya, tanah hak milik yang dimiliki istri dapat dianggap juga menjadi milik suami (WNA) secara hukum.
Akibatnya, rumah atau tanah dengan status Hak Milik (HM)
menjadi bermasalah, karena WNA tidak boleh memiliki hak milik atas tanah di
Indonesia.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA, dalam situasi seperti itu:
“Orang asing yang memperoleh hak milik karena percampuran harta karena perkawinan wajib melepaskan hak itu dalam waktu satu tahun. Bila tidak, hak itu hapus karena hukum.”
Namun, dalam kasus Anda, rumah dibeli sebelum menikah, sehingga bukan bagian dari harta bersama.
- Maka, hak milik tetap sah atas nama Anda,
- Tidak perlu dilepaskan atau dihapuskan,
- Dan boleh dijual tanpa perlu izin suami, karena bukan harta bersama dan bukan hak suami.
5. Apakah Akan Timbul Masalah di Hadapan Notaris?
Dalam praktik, beberapa notaris berhati-hati terhadap kasus
seperti ini.
Jika Anda menikah dengan WNA tanpa perjanjian pisah harta, sebagian
notaris mungkin meminta:
- Surat pernyataan bahwa rumah adalah harta bawaan yang diperoleh sebelum perkawinan, dan
- Dokumen pendukung seperti akta jual beli lama atau sertifikat atas nama pribadi Anda dengan tanggal sebelum pernikahan.
Hal ini bukan karena rumah Anda bermasalah, tetapi untuk menghindari tafsir bahwa tanah tersebut adalah bagian dari harta bersama, yang bisa bertentangan dengan UUPA.
Selama dokumen kepemilikan Anda lengkap dan tanggal perolehannya jelas sebelum perkawinan, notaris tidak berhak menolak pembuatan akta jual beli.
6. Kesimpulan
Menjawab pertanyaan Anda secara ringkas:
Pertanyaan |
Jawaban |
Rumah dibeli sebelum menikah |
✅ Termasuk harta bawaan pribadi |
Perlu izin suami (menikah setelah 1974)? |
❌ Tidak perlu izin suami, karena bukan harta bersama |
Perlu izin suami (menikah sebelum 1974)? |
✅ Perlu izin tertulis suami, karena seluruh harta dianggap bersama |
Risiko terhadap UUPA (suami WNA)? |
⚠️ Hanya jika rumah dianggap harta bersama, bukan jika rumah harta bawaan |
Boleh menjual rumah atas nama sendiri? |
✅ Boleh dan sah, selama dokumen kepemilikan lengkap |
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) – Pasal 108 dan 119
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan – Pasal 35 dan 36
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria – Pasal 21, 30, dan 36
Penutup
Dalam hukum Indonesia, waktu pembelian harta menentukan
status hukumnya.
Selama rumah dibeli sebelum menikah, rumah tetap milik pribadi Anda,
dan Anda bebas menjualnya tanpa izin suami, meskipun suami adalah WNA.
Yang perlu dijaga hanyalah bukti kepemilikan yang kuat dan transparansi administrasi di hadapan notaris.
Karena dalam hukum agraria, kejelasan status adalah pelindung terbaik atas hak Anda.