Hukumnya Jika Menghamili Tunangan Orang Lain: Antara Moral, Hukum, dan Akibatnya
Kasus seperti ini memang rumit — bukan hanya karena menyangkut hukum, tapi juga soal moral, perasaan, dan reputasi.
Bayangkan: dua orang saling mencintai, namun keadaan memisahkan. Si perempuan dijodohkan dan dilamar orang lain, namun sebelum menikah ia berhubungan dengan kekasih lamanya hingga hamil.
Pertanyaan pun muncul:
“Apakah laki-laki yang menghamili bisa dipenjara jika perbuatannya terbongkar?”
“Dan bagaimana dengan keabsahan pernikahan perempuan itu dengan calon suaminya?”
Mari kita bahas secara hukum — tanpa menghakimi, tapi dengan menempatkan fakta dan norma hukum pada tempatnya.
1. Pertunangan Tidak Diatur dalam Hukum Positif
Dalam hukum Indonesia, istilah “pertunangan” tidak
memiliki dasar hukum yang tegas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pertunangan adalah
“perbuatan bertunangan, yaitu bersepakat untuk menjadi suami istri.”
Namun secara hukum, pertunangan tidak menciptakan
hubungan perdata atau pidana apa pun.
Artinya:
- Tunangan belum dianggap sebagai suami-istri,
- Tidak ada konsekuensi hukum bila hubungan itu batal,
- Dan tidak ada sanksi pidana jika salah satu pihak menjalin hubungan lain.
Jadi, dalam konteks hukum positif, pertunangan hanya janji sosial atau moral, bukan ikatan hukum.
2. Hubungan Intim Antara Dua Orang Dewasa yang Belum Menikah
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan hubungan badan di luar nikah tidak otomatis merupakan tindak pidana, kecuali:
- Salah satu pihak sudah menikah (terikat perkawinan), atau
- Salah satu pihak masih di bawah umur (anak di bawah 18 tahun).
Jika kedua pihak sama-sama dewasa dan tidak terikat
perkawinan, maka hubungan itu termasuk perbuatan moral, bukan pidana.
Dengan kata lain:
“Berhubungan atas dasar suka sama suka antara dua orang dewasa bukanlah tindak pidana menurut hukum positif Indonesia.”
Hal ini sejalan dengan Pasal 284 KUHP, yang hanya menjerat perzinahan, yaitu hubungan seksual antara seseorang yang sudah menikah dengan orang lain bukan pasangannya.
3. Kapan Perbuatan Ini Menjadi Tindak Pidana?
Terdapat dua situasi di mana perbuatan ini dapat berimplikasi pidana:
a. Jika Dilakukan Saat Salah Satu Pihak Masih Anak-anak
Berdasarkan Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak,
setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anak (di bawah 18 tahun) dapat
dipidana penjara paling lama 15 tahun.
Jadi, jika salah satu pihak belum berumur 18 tahun, perbuatan tersebut termasuk persetubuhan dengan anak, dan tidak relevan apakah suka sama suka — karena dalam hukum, anak dianggap belum cakap menyetujui hubungan seksual.
b. Jika Dilakukan Saat Perempuan Sudah Menikah
Jika hubungan terjadi setelah perempuan sah menikah dengan orang lain, maka perbuatannya dapat dijerat Pasal 284 KUHP tentang perzinahan, dengan syarat:
- Ada pengaduan resmi dari suami yang sah, dan
- Pengaduan itu diajukan dalam waktu 3 bulan sejak diketahui peristiwa tersebut.
Tanpa adanya pengaduan dari suami, aparat penegak hukum tidak dapat memproses perkara ini.
4. Menghamili Tunangan Orang Lain: Apakah Bisa Dipenjara?
Dalam kasus yang Anda ceritakan, hubungan terjadi sebelum perempuan menikah dan dilakukan atas dasar suka sama suka.
Maka secara hukum:
- Tidak dapat dikategorikan sebagai perzinahan, karena perempuan belum bersuami.
- Tidak termasuk pemerkosaan, karena ada unsur suka sama suka.
- Tidak termasuk tindak pidana, selama kedua pihak sudah dewasa secara hukum.
Jadi, Anda tidak bisa dipidana hanya karena
menghamili seseorang yang saat itu masih berstatus tunangan orang lain.
Namun, secara sosial dan moral, tindakan tersebut bisa menimbulkan
konsekuensi berat — terutama bila kehamilan tersebut terbongkar setelah
perempuan menikah dengan orang lain.
5. Status Keabsahan Pernikahan dengan Orang Lain
Bagaimana dengan pernikahan perempuan tersebut yang tetap dilangsungkan setelah hamil?
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selama:
- Pernikahan dilakukan sesuai tata cara agama,
- Memenuhi syarat usia dan izin orang tua (bila di bawah 21 tahun),
- Tidak ada larangan kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan,
maka perkawinan tersebut tetap sah.
Kehamilan sebelum menikah tidak otomatis membatalkan
keabsahan perkawinan, meskipun secara moral atau sosial bisa menjadi
permasalahan dalam keluarga.
Selama akad nikah sah secara agama dan dicatat oleh pejabat berwenang, perkawinannya
diakui oleh negara.
6. Aspek Moral dan Sosial yang Tidak Bisa Diabaikan
Walaupun secara hukum tidak ada delik pidana, aspek etik
dan sosial tetap penting.
Menghamili tunangan orang lain adalah perbuatan yang:
- Mencederai nilai kesusilaan dan kehormatan keluarga,
- Dapat menimbulkan konflik sosial, bahkan kekerasan atau tuntutan moral dari pihak lain,
- Berpotensi menimbulkan kerumitan hukum keperdataan, seperti soal status anak yang lahir dari hubungan tersebut.
Dalam hukum keluarga, anak yang lahir dari hubungan sebelum perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, kecuali ada pengakuan atau penetapan ayah biologis melalui pengadilan.
7. Kesimpulan
Menjawab pertanyaan Anda secara ringkas:
Pertanyaan |
Jawaban |
Apakah bisa dipenjara karena menghamili tunangan orang lain? |
❌ Tidak bisa, jika dilakukan atas dasar suka sama suka dan kedua pihak dewasa. |
Apakah termasuk perzinahan? |
❌ Tidak, karena perempuan belum menikah. |
Bagaimana jika perempuan sudah menikah? |
✅ Bisa dijerat Pasal 284 KUHP (zina) jika suaminya mengadu ke polisi. |
Apakah pernikahan perempuan itu sah? |
✅ Sah, selama memenuhi syarat agama dan undang-undang. |
Apakah ada akibat hukum lain? |
⚠️ Ada, yaitu potensi masalah sosial dan status hukum anak. |
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) — Pasal 284
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan — Pasal 2, 6, 7, 8
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak — Pasal 81
Penutup
Secara hukum, Anda memang tidak bisa dipenjara karena
perbuatan itu dilakukan sebelum perempuan menikah.
Namun, secara moral dan sosial, tanggung jawab tetap melekat, apalagi
jika ada anak yang lahir dari hubungan tersebut.
Hukum boleh tidak menghukum, tapi masyarakat tetap menilai.
Dan dalam kasus seperti ini, yang paling berat sering bukan hukum, melainkan
konsekuensi sosial dan batin.