Bolehkah Mogok Kerja Meminta Penambahan Karyawan dan Kenaikan Upah?
Bayangkan seorang pekerja yang setiap hari bergelut di ketinggian — di proyek pembangunan gedung bertingkat atau menara telekomunikasi. Pekerjaan yang bukan hanya menuntut keahlian dan fisik prima, tetapi juga menyangkut nyawa. Sudah hampir dua tahun ia bekerja di perusahaan yang sama. Dalam kurun waktu itu, jumlah tenaga kerja di lapangan tak pernah bertambah, meski volume pekerjaan meningkat dan risiko kecelakaan tetap mengintai.
Melihat kondisi tersebut, ia mencoba bersuara. Ia mengajukan
permintaan sederhana kepada manajemen: tambahkan karyawan di bidang yang sama
demi mengurangi beban dan bahaya kerja, serta pertimbangkan kenaikan upah yang
layak — mengingat selama ini belum pernah ada penyesuaian. Namun jawaban yang
diterima justru datar: “Itu sudah kebijakan manajemen.”
Dari sinilah muncul pertanyaan yang kerap dialami banyak
pekerja di sektor konstruksi dan industri berisiko tinggi:
Apakah ada aturan hukum yang mengatur jumlah minimal pekerja
dalam pekerjaan di ketinggian? Dan jika akhirnya pekerja memutuskan untuk mogok
kerja karena tuntutannya tak direspons, apakah tindakan itu dibenarkan oleh
undang-undang?
Lebih jauh, bagaimana jika perusahaan menanggapinya dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pelanggaran disiplin atau “tidak
mematuhi peraturan perusahaan”? Hak-hak apa saja yang seharusnya tetap dimiliki
oleh pekerja dalam situasi seperti ini?
Tulisan ini mencoba mengulas persoalan tersebut dari
kacamata hukum ketenagakerjaan terbaru — termasuk ketentuan dalam Undang-Undang
Cipta Kerja, peraturan keselamatan kerja (K3), serta aturan
mengenai mogok kerja dan PHK — agar pekerja memahami batas haknya dan
perusahaan tak semena-mena menggunakan aturan internal untuk mengesampingkan
perlindungan hukum yang telah dijamin negara.
1. Apakah Ada Hukum yang Mengatur Jumlah Minimal Pekerja di Pekerjaan Ketinggian?
Tidak ada norma yang secara eksplisit menetapkan “jumlah
minimal karyawan” dalam pekerjaan di ketinggian (seperti konstruksi menara,
gedung tinggi) dalam undang-undang ketenagakerjaan. Kebijakan tenaga
kerja--berapa banyak pekerja yang diperlukan, kompetensinya, pembagian
tugas--umumnya diatur oleh perusahaan melalui analisis beban kerja (job
analysis), struktur organisasi, dan standar internal (manajemen,
kontraktor) dengan memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Yang ada dalam hukum adalah pengaturan K3
(Keselamatan dan Kesehatan Kerja), yang menjadi regulasi langsung terkait
pekerjaan dengan risiko tinggi:
- UU
Jasa Konstruksi (UU No. 18/1999) Pasal 23 ayat (2) mewajibkan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi memenuhi ketentuan keselamatan dan
kesehatan kerja serta perlindungan tenaga kerja.
- PP
29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, diubah dengan PP
59/2010, mewajibkan pelaksanaan konstruksi memperhatikan aspek K3, jaminan
sosial tenaga kerja, dan perlindungan saat bekerja.
- UU
Keselamatan Kerja (UU No. 1/1970) mengatur alat pelindung diri (APD)
dan wajib menyediakan fasilitas keselamatan.
- Dalam
praktik, standar teknis (SNI, standar konstruksi, regulasi pemerintah
daerah) bisa mengatur jumlah pekerja minimum untuk aspek keamanan, namun
bukan dalam UU ketenagakerjaan.
Jadi jika teman Anda merasa jumlah pekerja terlalu sedikit
dan kondisi berisiko, tuntutannya lebih diarahkan ke aspek K3 & tanggung
jawab perusahaan untuk menyediakan kondisi kerja aman, bukan secara
otomatis “hak terhadap jumlah minimal” yang dijamin undang-undang
ketenagakerjaan.
2. Hak Mogok Kerja Berdasarkan Hukum Nasional
Mogok kerja adalah hak dasar pekerja/serikat pekerja dalam
menyelesaikan perselisihan hubungan kerja, sepanjang dilakukan secara sah,
tertib, dan damai. (UU Ketenagakerjaan Pasal 137 dan Pasal 140)
Dengan hadirnya UU Cipta Kerja / Omnibus Law,
beberapa ketentuan lama tetap berlaku atau mengalami penyesuaian:
- Dalam
UU Cipta Kerja, ada penambahan norma baru: Pasal 81 ayat (42) UU
Cipta Kerja mengatur Pasal 154A ayat (2) UU Ketenagakerjaan
sebagai bentuk pengaturan tambahan terkait tindakan-tindakan tertentu,
termasuk kemungkinan sangsi terhadap pekerja yang dianggap “mangkir”.
- Meski
demikian, prinsip dasar yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan (Pasal
137—145) masih menjadi acuan dalam menilai keabsahan mogok kerja.
- Agar
mogok kerja sah, biasanya harus dipenuhi: pemberitahuan tertulis 7 hari
kerja sebelumnya kepada perusahaan dan instansi ketenagakerjaan, alasan
jelas, waktu dan durasi mogok, dan tanda tangan pengurus serikat atau
koordinator.
Jika mogok dilakukan tanpa prosedur yang sah (misalnya tanpa
pemberitahuan, bukan karena kegagalan negosiasi, atau melanggar ketertiban
umum), maka mogok itu tidak sah dan pengusaha bisa mengambil tindakan
tertentu (misalnya tidak membayar upah, meminta pekerja kembali).
Namun, jika mogok kerja telah memenuhi semua persyaratan
hukum → dianggap mogok yang sah, maka pengusaha dilarang memberikan
sanksi atau tindakan balasan terhadap pekerja selama dan sesudah melakukan
mogok. (Pasal 144 UU Ketenagakerjaan)
Beberapa catatan terkait UU Cipta Kerja: UU Cipta
menyediakan revision pada beberapa pasal ketenagakerjaan, termasuk ketentuan
tentang PHK dan prosedur peraturan perusahaan, tetapi tidak menggugurkan hak
mogok kerja sebagai hak dasar yang harus dipertimbangkan dalam konteks hubungan
industrial.
3. Apakah PHK Karena Mogok Kerja Dibolehkan?
Berikut poin-poin penting:
- Jika
mogok kerja sah, perusahaan tidak boleh memecat pekerja
sebagai tindakan balasan atau penghukuman atas mogok. (Pasal 144 UU
Ketenagakerjaan)
- Jika
mogok itu tidak sah, maka pengusaha mungkin melakukan tindakan
administratif atau menyatakan pekerja mangkir, dan memanggil agar kembali
bekerja. Jika pekerja tidak kembali setelah dua kali panggilan tertulis
dalam tenggang waktu tertentu, pekerja bisa dianggap mengundurkan diri.
(Kepmen 232/2003)
- Dalam
UU Cipta Kerja / perubahan terbaru, salah satu peluang PHK dapat terjadi
jika pekerja “mangkir” selama 5 hari kerja berturut-turut tanpa keterangan
tertulis yang sah dan setelah dipanggil pengusaha dua kali secara
tertulis. (dalam ketentuan mengenai Pasal 154A)
- Namun,
langsung mem-PHK tanpa memeriksa apakah tindakan mogok adalah sah atau
tidak bisa menjadi tuntutan balik dari pekerja karena pelanggaran hak
mogok dan hak atas perlindungan hukum.
Jadi, PHK sebagai respons langsung terhadap mogok bisa
dibenarkan hanya ketika mogok itu dianggap tidak sah, bukan ketika mogok
sah.
4. Jika PHK Terjadi, Hak Apa yang Diterima Karyawan (Masa Kerja ~ 2 Tahun)?
Dengan masa kerja hampir 2 tahun, jika PHK dilakukan secara
sah (atau dalam kondisi yang diizinkan), karyawan berhak atas:
- Uang
pesangon / kompensasi menurut ketentuan terbaru (Pasal 156, 161 UU
Ketenagakerjaan / UU Cipta Kerja)
- Uang
penghargaan masa kerja
- Uang
penggantian hak (cuti, hak lainnya yang belum diambil)
- Pemberitahuan
PHK secara tertulis (umumnya minimal 30 hari atau sebagaimana diatur dalam
peraturan perusahaan atau undang-undang)
- Penyelesaian
PHK melalui mediasi atau bipartit, atau jika perlu lewat PHI
(Pengadilan Hubungan Industrial) / arbitrase
Dalam konteks UU Cipta Kerja:
- PHK
harus melalui tahap pemberitahuan dan perundingan dengan serikat pekerja
atau pekerja terkait sebelum PHK dilakukan.
- Perhitungan
pesangon dan hak lainnya mungkin mengalami penyesuaian di bawah regulasi
baru (misalnya PP 35/2021, perubahan atas UU Cipta)
Catatan: Pengusaha tidak boleh memecat karena pekerja
menggunakan hak mogok kerja yang sah (tindakan balasan) atau karena melaporkan
pengusaha ke otoritas hukum (tidak boleh dijadikan sebab PHK). (Pasal 153 UU
Cipta Kerja / UU PK).
5. Ringkasan Jawaban untuk Kasus Anda
- Sumber
hukum jumlah minimal pekerja di ketinggian: tidak ada ketentuan khusus
dalam UU ketenagakerjaan yang menjamin jumlah minimal. Permintaan
penambahan karyawan lebih relevan sebagai isu K3 dan kebijakan internal
perusahaan.
- Mogok
kerja untuk tuntutan itu: bisa dilakukan, selama prosedurnya sah,
tertib, dan damai.
- PHK
karena mogok: jika mogok sah, PHK sebagai balasan adalah pelanggaran;
tetapi jika mogok tidak sah, pekerja bisa dianggap mangkir dan PHK bisa
dibenarkan.
- Hak
jika PHK terjadi (masa kerja ~2 tahun): hak pesangon, penghargaan masa
kerja, penggantian hak, pemberitahuan tertulis, dan penyelesaian melalui
mediasi/PHI.