Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melawan PT Sari Lembah Subur. Putusan ini memperkuat kemenangan perusahaan sawit tersebut di Pengadilan Pajak terkait koreksi PPN senilai Rp19,47 miliar.
Dalam putusan Nomor 5162/B/PK/Pjk/2024 yang dibacakan pada 29 Oktober 2024, majelis hakim agung yang dipimpin oleh Dr. Irfan Fachruddin, S.H., CN. bersama hakim anggota Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H. dan Dr. H. Yosran, S.H., M.Hum. menyatakan permohonan PK DJP tidak beralasan hukum.
Latar Belakang Sengketa
Kasus ini bermula dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Masa Pajak Oktober 2014 senilai Rp185,26 juta yang diterbitkan DJP melalui Keputusan Nomor KEP-00337/KEB/WPJ.19/2020. DJP melakukan koreksi atas penyerahan jasa kena pajak berupa pengelolaan kebun plasma dan penagihan biaya operasional, yang menurut otoritas pajak seharusnya dikenakan PPN.
Namun, PT Sari Lembah Subur menolak koreksi tersebut dengan alasan pembayaran yang diterima perusahaan hanyalah pengembalian (reimbursement) kredit dari koperasi plasma, bukan pendapatan atas jasa yang tergolong objek PPN.
Pengadilan Pajak pada 7 September 2023 mengabulkan sebagian banding perusahaan dengan menyatakan koreksi penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri senilai Rp19,47 miliar tidak tepat. Putusan itu membuat kewajiban PPN perusahaan jauh berkurang.
Alasan PK Ditolak
DJP kemudian mengajukan PK ke MA dengan dalih putusan Pengadilan Pajak bertentangan dengan aturan. Namun, majelis hakim berpendapat bahwa pembayaran angsuran petani melalui pemotongan hasil panen kepada perusahaan hanyalah pengembalian kredit, bukan jasa kena pajak sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UU PPN.
“Tidak terdapat kekhilafan nyata atau kesalahan penerapan hukum dalam putusan Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, koreksi sebesar Rp19,47 miliar tidak dipertahankan,” demikian pertimbangan hakim dalam putusan.
MA pun secara bulat menolak PK DJP dan menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2,5 juta. Dengan demikian, putusan Pengadilan Pajak yang menguntungkan PT Sari Lembah Subur tetap berkekuatan hukum.
Putusan ini menegaskan posisi hukum bahwa pengembalian biaya dari koperasi plasma tidak termasuk objek PPN, sehingga memberikan kepastian hukum bagi perusahaan perkebunan dalam skema kemitraan inti-plasma.
Siapa Sari Lembah Subur
PT Sari Lembah Subur (SLS) adalah salah satu anak perusahaan dari PT Astra Agro Lestari Tbk, raksasa agribisnis kelapa sawit di Indonesia. Perusahaan ini beroperasi di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, dengan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat sekitar.
Sebagai bagian dari grup Astra, SLS tidak hanya mengelola perkebunan inti, tetapi juga mengembangkan pola kemitraan plasma dengan petani. Melalui koperasi unit desa (KUD), perusahaan menjalin kerjasama dalam hal penyediaan pupuk, pembinaan teknis, hingga fasilitasi peremajaan tanaman. Hasil panen tandan buah segar (TBS) petani plasma maupun swasta sebagian besar dipasarkan melalui perusahaan ini. Sistem kemitraan ini diakui ikut mendongkrak kesejahteraan petani sawit di wilayah Pelalawan.
Namun, di balik kontribusinya pada perekonomian lokal, PT Sari Lembah Subur juga tak lepas dari sorotan. Beberapa laporan masyarakat menyebutkan adanya dugaan pencemaran lingkungan akibat limbah perusahaan yang mengalir ke lahan dan sungai sekitar. Selain itu, tim gabungan Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (PKH) pernah menyegel sekitar 250 hektar lahan yang dikuasai perusahaan karena berada di kawasan hutan tanpa izin yang sah.
Dengan posisi strategisnya sebagai bagian dari grup Astra, SLS berada dalam dilema antara menjaga kinerja bisnis dan menjawab tuntutan keberlanjutan. Di satu sisi, perusahaan menjadi motor ekonomi bagi masyarakat Pelalawan; di sisi lain, mereka dituntut untuk mematuhi regulasi lingkungan dan tata kelola kehutanan.