Minggu dini hari itu, suasana di Perumahan Kebayoran Essence, Bintaro, Tangerang Selatan, mendadak gaduh. Belasan motor melaju masuk, membelah sepi subuh. Dari atas motor, sekitar dua puluh orang turun, lalu bergegas menuju rumah tiga lantai yang berdiri megah di ujung blok. Rumah itu milik artis sekaligus anggota Komisi IX DPR RI, Nafa Urbach.
Tanpa basa-basi, massa mendobrak pagar, melewati sekuriti yang tak berdaya melawan jumlah. “Saya sampai lokasi jam 04.45 WIB dan sudah keluar massa dengan barang jarahan,” kata Syarif, warga sekitar. Dari kejauhan ia melihat televisi besar, kipas angin, hingga perabot rumah tangga lain diangkut terburu-buru, diikat seadanya di motor.
Tak sampai setengah jam, sekitar pukul 05.00 WIB, massa bubar. Polisi mulai berdatangan, situasi kembali tenang. Nafa dan keluarganya tak berada di rumah, hanya meninggalkan bangunan yang acak-acakan, kamar-kamar yang kosong, dan sekuriti yang ketakutan.
Penjarahan rumah Nafa bukan peristiwa tunggal. Dalam rentang kurang dari 24 jam, rumah sejumlah pejabat dan publik figur ikut jadi sasaran. Rumah Uya Kuya di kawasan Cibubur dijarah meski ia sudah lebih dulu menyampaikan permintaan maaf terbuka di media sosial. Begitu pula rumah Eko Patrio dan Ahmad Sahroni, yang pintunya tak luput dari amukan massa.
Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengalami hal serupa. Massa lebih banyak, jumlahnya mencapai ratusan, sebagian membawa senjata tajam dan bahkan mengoperasikan drone. Bintaro yang biasanya tenang berubah jadi panggung ketakutan kolektif, seakan setiap rumah pejabat bisa sewaktu-waktu didobrak.
Dari Linimasa ke Jalanan
Di media sosial, potongan video penjarahan menyebar deras. Ada yang menunjukkan motor-motor beriringan membawa hasil jarahan; ada pula yang menyorot kerumunan menyoraki aparat. Di X, tagar #DPR50Juta dan #RumahPejabat naik jadi tren. Di TikTok, narasi “rakyat lapar, pejabat mewah” jadi bahan sindiran berjuta-juta warganet.
Gelombang amarah ini punya latar yang jelas. Beberapa hari sebelumnya, publik geger soal rencana DPR menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Komentar sejumlah anggota DPR—yang dianggap meremehkan kondisi rakyat—memicu ledakan kemarahan. Sentimen anti-elit mengental, apalagi di tengah kenaikan harga pangan, pendidikan yang kian mahal, pajak properti yang menjerat, dan kasus sopir ojek online, Affan Kurniawan, yang meninggal dalam protes.
Dari linimasa, kemarahan itu pindah ke jalanan, lalu mengetuk—atau lebih tepatnya, mendobrak—pintu rumah para pejabat.
Rumah-rumah yang dijarah bukan sekadar bangunan. Mereka simbol dari jarak antara rakyat dan elite politik. Ketika massa mengobrak-abrik ruang tamu Nafa Urbach atau menjebol pagar rumah Sri Mulyani, yang dijarah bukan hanya barang-barang mewah, melainkan juga wibawa institusi yang mereka wakili.
Bahwa seorang anggota DPR sekaligus selebritas bisa kehilangan rasa aman di rumahnya sendiri, menunjukkan betapa dalam jurang ketidakpercayaan itu. Rakyat yang biasanya hanya berteriak di jalan atau menulis di media sosial kini memilih cara yang lebih frontal—mengambil langsung dari mereka yang dianggap terlalu jauh dari penderitaan publik.
Pagi itu, saat sinar matahari baru muncul di Bintaro, rumah Nafa Urbach sudah porak-poranda. Polisi memasang garis kuning, wartawan berdatangan, warga berkerumun. Sisa-sisa kaca pecah dan pintu yang terbuka menjadi penanda bahwa gelombang amarah rakyat sudah menembus pagar perumahan elit.
Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang salah, melainkan apa yang sedang retak di republik ini. Sebab, di balik televisi yang hilang dan pintu rumah yang jebol, ada krisis yang lebih besar: runtuhnya rasa percaya rakyat pada para pemimpinnya.