Sidang-sidang DPR belakangan ini kian terasa monoton. Bukan karena agenda rapat yang sepi, melainkan karena perdebatan yang mestinya hidup justru mandek di ruang hampa. Hampir semua fraksi kini berada di lingkar kekuasaan. Lantas, siapa yang tersisa untuk berkata “tidak” di tengah riuh koor “setuju”?
Indonesia pernah belajar bahwa demokrasi hanya tumbuh sehat jika ada oposisi yang kuat. Tanpa oposisi, parlemen hanyalah ruang gema: suara mayoritas akan dipantulkan ulang, tanpa kritik berarti. Oposisi sejatinya berfungsi sebagai rem, penyeimbang, bahkan pengawas moral. Tanpa itu, DPR berubah jadi lembaga stempel.
Sejak reformasi 1998, kita membayangkan parlemen sebagai arena debat terbuka, di mana partai pemerintah dan oposisi bersilang argumen. Namun, dalam praktik, politik Indonesia lebih suka kompromi ketimbang konfrontasi. “Koalisi besar” dianggap lebih aman ketimbang kompetisi gagasan.
Kini, dengan hampir semua partai ikut masuk kabinet, DPR kehilangan gigi pengawasnya. Alih-alih mengawasi pemerintah, banyak anggota parlemen lebih sibuk memastikan jatah proyek, konsesi politik, atau perpanjangan karier. Kekuasaan terlalu nyaman untuk dilepaskan, sementara risiko jadi oposisi terlalu besar: tersingkir dari rente dan perhatian negara.
Rakyat Tanpa Suara
Masalahnya, oposisi bukan sekadar kebutuhan elite, melainkan hak rakyat. Rakyat berhak diwakili oleh suara yang kritis, yang mempertanyakan, yang menolak ketika kekuasaan melenceng. Ketika semua partai asyik berebut kursi menteri, suara rakyat yang menjerit karena harga pangan naik, pendidikan kian mahal, atau tanahnya digusur, kehilangan corongnya.
Di titik inilah muncul paradoks: DPR yang konon “mewakili rakyat” justru makin jauh dari rakyat. Yang tersisa hanyalah publik marah di jalanan, atau mengolok-olok wakilnya di media sosial. Tak heran, penjarahan simbolik rumah para pejabat beberapa waktu lalu dibaca sebagai ledakan frustrasi rakyat yang tak lagi menemukan kanal politik formal.
Ketiadaan oposisi sejatinya bukan hal baru. Di masa Orde Baru, semua partai dipaksa tunduk pada Golkar dan negara. Parlemen kala itu hanya “alat penyuluhan pemerintah.” Reformasi menjanjikan hal lain, namun dua dekade kemudian, kita seperti kembali pada titik semula—bedanya, kali ini partai tunduk bukan karena dipaksa, melainkan karena mereka sendiri tergoda kenyamanan kekuasaan.
Di negara-negara lain, demokrasi yang kehilangan oposisi biasanya hanya menunggu waktu untuk membusuk. Rusia, misalnya, memiliki parlemen, tapi tanpa oposisi sejati, ia hanyalah instrumen legitimasi. Turki pun serupa, dengan oposisi yang terus dipreteli, parlemen tak lagi menjadi ruang kritik, melainkan aula persetujuan.
Apa yang terjadi di DPR hari ini harus dibaca sebagai peringatan dini. Demokrasi Indonesia masih hidup, tapi nafasnya kian pendek. Tanpa oposisi, check and balance runtuh, dan parlemen hanyalah ornamen dalam tata negara: indah di atas kertas, rapuh dalam praktik.
Mungkin publik masih bisa menertawakan wakilnya lewat meme, atau menegur lewat demonstrasi. Tapi selamanya? Tidak. Demokrasi yang tidak menyediakan saluran oposisi akan digantikan oleh oposisi jalanan—dan itu selalu berujung lebih liar, lebih mahal, lebih menyakitkan.
DPR tanpa oposisi adalah rumah besar tanpa ventilasi: penghuninya bisa saling bercengkerama, tapi pelan-pelan mereka mati lemas oleh udara mereka sendiri. Pertanyaan pentingnya: apakah kita mau membiarkan demokrasi Indonesia tercekik di rumah megah Senayan itu?