Haruskah Melepas Kepemilikan Properti Jika Menikah dengan WNA? Begini Penjelasan Hukumnya


Menikah dengan warga negara asing (WNA) kini semakin umum di Indonesia. Namun di balik kisah romantis lintas negara, ada satu isu hukum yang sering menimbulkan kebingungan besar — bahkan bisa berdampak pada kehilangan aset berharga:

“Apakah seorang WNI yang menikah dengan WNA harus melepas kepemilikan rumah, tanah, atau properti atas namanya?”

Pertanyaan ini penting karena menyangkut status kepemilikan hak atas tanah, yang diatur secara ketat oleh hukum agraria Indonesia. Mari kita bedah satu per satu.

 

Prinsip Dasar: Tanah di Indonesia Hanya untuk WNI

Hukum agraria Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Salah satu prinsip dasarnya jelas: hak atas tanah tertentu hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI).

Tepatnya disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA:

“Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.”

Artinya, WNA tidak boleh memiliki tanah dengan status Hak Milik (HM) di Indonesia.
Mereka hanya dapat menguasai tanah dengan bentuk Hak Pakai, dan itu pun dengan berbagai batasan administratif.

 

Masalah Muncul Saat Perkawinan Campur

Lalu bagaimana jika seorang WNI pemilik tanah menikah dengan WNA?

Masalah muncul ketika perkawinan mereka tidak membuat perjanjian pisah harta (perjanjian pranikah atau pascanikah).
Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa:

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”

Dengan demikian, jika tidak ada perjanjian pisah harta, maka seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan — termasuk tanah dan rumah — dianggap harta bersama antara WNI dan WNA.

Masalahnya, karena WNA tidak boleh memiliki hak milik atas tanah, maka status kepemilikan properti tersebut menjadi tidak sah secara hukum.

 

Risiko Hukum: Hak Milik Bisa Gugur

UUPA juga telah mengantisipasi situasi ini.
Pasal 21 ayat (3) UUPA menyatakan:

“Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut.”

Jika tidak dilepaskan dalam waktu satu tahun, hak milik itu gugur karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.

Jadi, dalam konteks perkawinan campuran, WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian pisah harta berisiko kehilangan hak atas tanahnya, karena dianggap bercampur dengan harta WNA.

 

Solusi Hukum: Buat Perjanjian Pisah Harta (Prenup atau Postnup)

Untungnya, hukum Indonesia menyediakan solusi melalui perjanjian perkawinan (perjanjian pisah harta).

Sesuai Pasal 29 UU Perkawinan (sebagaimana telah diubah oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015),
perjanjian perkawinan tidak hanya bisa dibuat sebelum menikah (prenup), tetapi juga dapat dibuat setelah menikah (postnup).

Dengan perjanjian pisah harta, harta yang dimiliki masing-masing pihak — baik yang diperoleh sebelum maupun sesudah perkawinan — tidak akan menjadi harta bersama.

Artinya:

  • Tanah atau rumah yang dimiliki oleh WNI tetap menjadi milik pribadi,
  • Tidak bercampur dengan harta pasangan WNA,
  • Sehingga tetap sah menurut hukum agraria.

Tanpa perjanjian tersebut, segala properti yang diperoleh selama perkawinan dapat dipersoalkan keabsahannya.

 

Bagaimana Jika Sudah Terlanjur Menikah Tanpa Perjanjian Pisah Harta?

Jika sudah terlanjur menikah tanpa perjanjian, masih ada jalan keluar.

Setelah Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, pasangan dapat membuat perjanjian pisah harta setelah menikah.
Namun, perjanjian ini:

  • Harus dibuat di hadapan notaris,
  • Disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan,
  • Dan berlaku ke depan (tidak retroaktif) sejak tanggal perjanjian dibuat.

Dengan begitu, WNI masih dapat melindungi properti yang sudah dimiliki, asalkan langkah hukum ini dilakukan sebelum terjadi percampuran harta akibat transaksi atau pembelian baru.

 

Alternatif Lain: Gunakan Badan Hukum atau Hak Pakai

Jika WNA ingin memiliki properti di Indonesia, ada beberapa alternatif legal:

  • Membeli properti dengan Hak Pakai atas nama sendiri, sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021,
  • Atau mendirikan PT PMA (Penanaman Modal Asing) yang dapat memiliki tanah dengan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk kegiatan usaha.

Namun, semua skema ini tunduk pada batasan luas tanah, jangka waktu, dan tujuan penggunaan.
Tidak bisa digunakan untuk menyiasati aturan hak milik individu.

 

Kesimpulan: Tidak Harus Melepas, Asal Ada Perjanjian Pisah Harta

Jadi, menjawab pertanyaan utama:

Apakah harus melepas kepemilikan properti jika menikah dengan WNA?

Jawabannya:
Tidak harus, asal dibuat perjanjian pisah harta (prenup/postnup) dan harta tetap atas nama pribadi WNI.

Tetapi jika tidak ada perjanjian pisah harta, maka hak milik atas tanah berisiko gugur karena dianggap bercampur dengan harta WNA — sesuai Pasal 21 ayat (3) UUPA.

Maka, sebelum atau sesudah menikah dengan WNA, langkah paling aman adalah berkonsultasi dengan notaris dan membuat perjanjian pisah harta agar kepemilikan properti tetap terlindungi secara hukum.

 

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015
  4. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah

 

Hukum Indonesia melindungi hak kepemilikan warga negara, tetapi juga menjaga kedaulatan agraria.
Maka, menikah lintas kewarganegaraan tidak harus kehilangan rumah atau tanah, asalkan pemisahan harta dilakukan secara sah.
Dalam hukum, cinta memang boleh lintas negara — tapi urusan tanah tetap harus berpijak di bumi Indonesia.