Bolehkah Meminang Perempuan yang Baru Bercerai secara Agama? Begini Penjelasan Hukumnya
Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul pertanyaan yang tampak sederhana tapi punya konsekuensi hukum yang serius:
“Bolehkah seorang pria meminang perempuan yang baru bercerai, tapi perceraiannya baru dilakukan secara agama — belum ada putusan dari pengadilan?”
Pertanyaan ini kerap muncul karena di masyarakat masih ada anggapan bahwa “cerai secara agama” sudah cukup untuk memutuskan ikatan pernikahan. Padahal, dari perspektif hukum positif di Indonesia, status perkawinan tidak bisa berakhir hanya dengan talak lisan atau kesepakatan bersama, melainkan harus melalui putusan pengadilan agama.
Mari kita bahas dengan dasar hukum yang jelas.
1. Perceraian Dianggap Sah Jika Diputuskan oleh Pengadilan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, secara tegas menyatakan:
- Pasal 123 KHI:
“Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.”
- Pasal 146 ayat (2) KHI menegaskan kembali:
“Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Artinya, meskipun pasangan suami istri sudah berpisah tempat tinggal, sudah tidak berhubungan, atau bahkan sudah “cerai secara agama”, status hukum mereka tetap suami istri selama belum ada putusan pengadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dengan kata lain, perceraian secara agama tidak otomatis mengakhiri perkawinan secara hukum.
2. Apa Itu Peminangan dalam Hukum Islam?
KHI juga memberikan pengertian yang jelas tentang peminangan
atau khitbah.
Berdasarkan Pasal 1 huruf a KHI:
“Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.”
Kemudian, Pasal 12 ayat (1) menyebut:
“Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.”
Artinya, peminangan hanya sah dilakukan terhadap perempuan yang berstatus “bebas” — bukan istri orang lain, dan bukan perempuan yang masih menjalani masa iddah.
3. Bagaimana Jika Si Perempuan Masih dalam Masa Iddah?
Hukum Islam juga mengatur secara tegas larangan meminang perempuan yang masih berada dalam masa iddah, terutama iddah raj‘i — yaitu masa tunggu bagi perempuan yang ditalak oleh suaminya dengan talak raj‘i (talak yang masih bisa dirujuk kembali).
Pasal 12 ayat (2) KHI berbunyi:
“Wanita yang ditalak suaminya yang masih berada dalam masa iddah raj‘i haram dan dilarang untuk dipinang.”
Dalam konteks ini, masa iddah menjadi penanda bahwa hubungan perkawinan belum sepenuhnya putus. Suami masih berhak rujuk tanpa akad baru selama masa tersebut. Karena itu, pihak lain dilarang masuk atau melakukan peminangan terhadap perempuan dalam masa iddah.
4. Lalu, Bagaimana Jika “Sudah Cerai Agama” Tapi Belum Putusan Pengadilan?
Nah, di sinilah sering terjadi kesalahpahaman di masyarakat.
Secara sosial, banyak yang menganggap talak di hadapan tokoh agama atau ustaz
sudah cukup. Namun secara hukum negara, tidak.
Selama belum ada putusan Pengadilan Agama yang berkekuatan hukum tetap, maka:
- Status perempuan tersebut masih istri sah dari suaminya.
- Ia belum berstatus janda.
- Dan karenanya, belum boleh dipinang oleh laki-laki lain.
Mengapa? Karena hukum di Indonesia memandang akad nikah
dan perceraian sebagai perbuatan hukum publik, bukan hanya urusan privat.
Akibat hukumnya menyangkut hak dan kewajiban perdata, seperti:
- Nafkah pasca-cerai,
- Hak asuh anak (hadhanah),
- Pembagian harta bersama (gono-gini), dan sebagainya.
Jika perceraian tidak dilakukan di pengadilan, maka semua akibat hukum tersebut menjadi tidak sah dan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.
5. Kesimpulan: Harus Ada Perceraian Secara Negara Terlebih Dahulu
Berdasarkan Pasal 123 dan Pasal 146 ayat (2) KHI, perceraian baru dianggap sah dan membawa akibat hukum setelah ada putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Maka, meminang perempuan yang baru “cerai secara agama” tetapi belum bercerai secara hukum negara adalah tidak boleh, karena secara hukum:
- Perempuan tersebut masih berstatus istri orang, dan
- Peminangan terhadapnya tidak sah serta dilarang secara agama dan hukum.
Setelah putusan perceraian dari pengadilan keluar dan berkekuatan hukum tetap, serta masa iddah perempuan tersebut telah selesai, barulah ia dapat dipinang oleh pria lain.
Dasar Hukum
- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
- Pasal 1 huruf a
- Pasal 12 ayat (1)–(2)
- Pasal 123
- Pasal 146 ayat (2)
Hukum keluarga Islam di Indonesia dibangun atas asas
kehati-hatian — agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat tindakan
tergesa-gesa atau tanpa dasar hukum yang kuat.
Jadi, jika Anda atau orang terdekat sedang menghadapi proses perceraian, pastikan
semua prosedur hukum diselesaikan di pengadilan agama. Baru setelah itu,
urusan peminangan atau pernikahan baru dapat dilakukan secara sah, baik menurut
agama maupun negara.