Tindak Pidana Suap dan Gratifikasi: Perbedaan dan Contohnya


Gumpalan.com
- Dalam hukum pidana Indonesia, terdapat dua perbuatan yang sering menjadi perhatian yaitu suap dan gratifikasi. 

Kedua tindakan ini melibatkan pemberian sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan tujuan mempengaruhi tugas atau keputusan mereka yang berkaitan dengan kepentingan umum. Meskipun terdengar serupa, suap dan gratifikasi memiliki perbedaan yang penting.

Suap, yang didefinisikan dalam UU 11/1980, terjadi ketika seseorang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang melanggar kewenangan atau kewajibannya dalam tugasnya yang berkaitan dengan kepentingan umum. 

Pemberian suap dapat dikenai pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp15 juta. Sementara itu, penerima suap dapat dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp15 juta.

Tindak pidana suap juga dapat diatur dalam UU 31/1999 dan perubahannya. Pasal 5 UU 20/2001 menyatakan bahwa setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar mereka melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban mereka dapat dihukum dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, serta denda antara Rp50 juta hingga Rp250 juta. Penerima suap juga dapat dihukum dengan pidana yang sama.

Sementara itu, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yang meliputi uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya. 

Gratifikasi dapat diberikan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan atau tanpa menggunakan sarana elektronik. Ketika gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai suap.


Sanksi pidana untuk gratifikasi cukup berat. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dapat dihukum dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar. 

Namun, ada pengecualian jika penerima gratifikasi melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi. Dalam hal ini, KPK dapat menetapkan apakah gratifikasi tersebut menjadi milik penerima atau milik negara.

Untuk membedakan suap dan gratifikasi, penting untuk memperhatikan adanya "meeting of minds" atau kesepakatan antara pemberi dan penerima. Dalam suap, terdapat kesepakatan antara pemberi dan penerima suap, sementara dalam gratifikasi tidak terdapat kesepakatan sebelumnya. 

Misalnya, jika seseorang meminta promosi kepada atasan dan memberikan iming-iming sesuatu sebagai imbalannya, maka itu merupakan perbuatan suap karena terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun, jika seseorang diberi jabatan berdasarkan kewenangannya, lalu memberikan sesuatu kepada orang yang mengangkatnya, itu dianggap sebagai gratifikasi karena tidak ada kesepakatan sebelumnya.

Suap dan gratifikasi merupakan tindak pidana serius yang merugikan kepentingan umum dan melanggar hukum. Penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan antara kedua tindakan tersebut dan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi kepada pihak berwenang. Dengan menjaga integritas dan melawan korupsi, kita dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال